"Benarkah aku anak pungut, ma? "
Wajah bulat itu tampak manyun sambil menunggu jawabanku.
Tapi aku hanya diam tak menyahut.
"Mama… jawab dong! "
"Siapa yang bilang? "
"Ari, tetangga sebelah "
"Darimana Ari tahu? Kamu percaya sama dia? "
"Kata Ari dari mamanya Ari yang bilang"
Sejenak dadaku bergemuruh mendengarnya. Dasar perempuan s*nd*l berkali kali sudah dia berusaha merusak kehidupanku! Teriak hatiku kacau.
"Rini anak mama! Sudah titik tak ada pertanyaan." Jawabku tegas dengan sedikit emosi.
Sejenak Rini tampak ragu namun kemudian tersenyum lega. Tak lama dia pun pamit hendak ke rumah temannya.
=====
Sepeninggal Rini pikiranku berkelana berkejaran kembali kemasa lampau.
"Halo! Ya benar dengan saya sendiri, bu Tatik" jawabku di ujung telepon.
"Bayi? " jawabku kaget.
"Rumah sakit…(menyebut nama RS) "
"Baik,Saya segera kesana! "
Aku tak habis pikir bagaimana seorang ibu menitipkan bayinya pada rumah sakit untuk diserahkan kepadaku? Seorang ibu dari empat anak putra dan putri yang lengkap. Setelah kutelusuri semua biaya rumah sakit telah lunas,tas besar berisi perlengkapan bayi telah siap pula. Apa yang menyebabkan ibu bayi ini berpesan demikian pada pihak rumah sakit. Tentu bukan karena tak mampu masalah biaya bukan? Dari mana pula ibu bayi ini mendapatkan alamat rumah lengkap dengan nomor hp ku? Anak siapa bayi ini?
Kutatap kembali bayi mungil yang berada dalam buaianku. Ada sentilan halus dihatiku. Seperti sesuatu yang tak asing lagi. Ah… biarlah kuterima semua ini kuanggap sebagai anugerah.Batinku saat itu.
======
"Papa mengakulah!" tuntutku berapi api. "Saat papa dinas di luar kota,pernahkah papa khilaf bersama perempuan lain? "
Suamiku diam tak menjawab. Ini pertengkaran entah yang keberapa semenjak bayi itu muncul diantara kami. Suamiku selalu diam dan tak pernah menyangkal atas pertanyaanku.
Benarkah kabar yang beredar? Jika bayi itu adalah anaknya? Anak suamiku dengan perempuan lain? Kebisuan suamiku mengantarkanku pada suatu pembenaran bahwa benar bayi itu anak suamiku.
Saat itu aku sangat membenci keduanya, bayi itu dan suamiku. Hingga depresi menghampiriku.
Jiwaku terselamatkan oleh psikiater kondang di kotaku. Ditambah siraman rohani dari Ustadzah Jannah yang tak henti mengunjungi dan menguatkan diriku. Aku akhirnya sadar dan berkompromi dengan diriku sendiri. Mulai bisa menerima kehadiran bayi itu yang sudah beranjak balita. Sedang lucu lucunya.
Setiap memandangnya ku selalu ingat, jika dia anaknya. Anak lelaki yang kusebut suami, ayah dari keempat anakku. Apa yang harus kulakukan? Kompromi luar biasa antara harga diri dan pengorbanan. Dan aku memilih yang kedua. Untuk keempat anakku yang masih membutuhkan sosok ayah. Kuterima dan ku besarkan pula bayi haram itu.
Dia yang sekarang beranjak dewasa. Dia yang sekarang selalu menemaniku karena keempat anakku menuntut ilmu dan tak lagi bersamaku.
Dia yang bernama Rini. Anak suamiku.
Kutha Gandrung, 25 April 2020
Komentar
Posting Komentar