Bagian 8
Disini aku sekarang. Batinku berbisik.
Ku rapikan baju yang kurasa lusuh.
Kurang percaya diri selalu kurasa setiap memasuki lingkungan baru,dan...pastinya orang orang baru.
Kepindahan ini kuputuskan dengan istiharah dan menangis setiap malam pada NYA.
Pergi menemui hal baru. Meninggalkan kehidupan lamaku yang nyaman. Namun menjadi tanah garam dan aku cacingnya.
Gunjingan sekelilingku, tatapan mata mereka padaku membuatku sungguh tak tahan.
Julukan "Peratu" yang tak sengaja kudengar, membuatku mengambil sikap ini.
Peratu, perawan tua. Sungguh sakit aku mendengarnya.
Hai tak sadarkah kalian para penggunjing.
Menjadi perawan tua itu bukan mauku.
Bukankah jodoh kewenangan Nya?
Mengapa kalian memandangku hina?
Bersikap sinis saat nampak kerudung panjangku.
Melirik saat ku tangkup dua tanganku sebagai ganti jabat tangan dengan lawan jenis.
Apa masalahnya?
Dari wajah mereka kulihat isi pikiran mereka.
Hah, pantas saja kau jadi peratu,jabat tangan saja kau tak mau. Bajumu longgar kayak pembantu.
Miris,hatiku dengan pemikiran itu.
"Mbak Mila Inuna? " sapaan bernada tanya itu mengagetkanku .
"Ya" Jawab ku
Dengan senyum mengembang gadis manis berseragam sekolah itu mengantarkan ku pada sebuah ruangan yang nyaman dan langsung kusuka.
Sebelumnya Rini begitu panggilannya mengatakan bahwa pak Ardi pimpinan penerbitan sedang keluar. Namun beliau berpesan sebelumnya jika aku datang untuk langsung mengantarku keruangan ini.
Rini adalah siswa magang di penerbitan ini. Orangnya humble dan ramah membuatku nyaman bercengkrama dengannya.
Ardi. Nama itu mengingatkan ku pada 20 tahun silam. Masa putih abu-abu .
Pertemuan terakhir ku dengan nya.
Nun.Begitu panggilnya
Dan semuanya kelabu saat Ardi meminta maaf padaku atas kelakuan jahilnya padaku. Dia juga mengatakan harus pindah mengikuti orang tua yang pindah tugas sekaligus melanjutkan kuliah di negara kangguru. Hanya itu. Tatapan Ardi saat itu seperti ingin mengatakan "aku suka padamu".
Tapi yang keluar dari mulut Ardi hanyalah "maaf"
Dan pergi begitu saja.
Apakah aku gede rasa.
Kukira kisahku dengannya seperti kisah sancay dalam meteor garden.
Ardi tak tahu disetiap hari setelah topi ku yang dia ambil.Dia mengambil hatiku.
Ardi tak tahu saat dia sakit karena asmanya kambuh, dadaku juga ikut sesak tak menentu.
Ah.. Ardi andai bisa,sama sekali ku tak ingin jatuh hati padamu.
"Bu Mila? " Panggilan itu kembali menyeretku kesaat ini.
Rini dengan tergopoh gopoh mengatakan bahwa aku harus melihat file buku yang harus segera aku translate dan edit. Karena tiba tiba pihak mitra penerbitan ini memajukan waktu deadline.
Dengan segera aku tenggelam pada pekerjaan ku. Pekerjaan yang aku suka.
Menjadi editor dan penerjemah buku asing.
Setidaknya ingatanku pada Ardi teralihkan.
Bersambung💚💚💚
Tulisan ini terpikir saat saya melihat tayangan live maut dua penyanyi kawakan lintas genre musik. Rhoma Irama dan Iwan Fals. Dua musisi yang tak diragukan lagi karya karya besarnya. Saya menyukai keduanya. Saya memiliki lagu favorit ciptaan mereka berdua. Lagu Iwan Fals dengan judul "Ibu" selalu membuat saya menitikkan airmata. Lagu Rhoma paling favorit buat saya berjudul "Mardatillah"selalu menggugah sisi spiritualitas saya setiap mendengar nya. Duet mereka membawakan lagu "Mirasantika" ciptaan Rhoma sungguh memukau. Satu lagu yang sama dinyanyikan dengan gaya dan khas yang berbeda dari keduanya. Sama sama enak didengar.Sama merdunya. Menyentuh hati pendengarnya dengan cara berbeda. Baru saya sadari inilah yang dimaksud dengan karakter. Dalam sebuah tulisan di liputan 6.com dikatakan karakter adalah nilai-nilai yang khas, baik watak, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebi...
Komentar
Posting Komentar